DJABARPOS.COM, Jakarta – Untuk memastikan manfaat dari pelaksanaan Program Percepatan Reforma Agraria (PPRA) menjangkau seluruh lapisan masyarakat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR) melakukan Kajian Kerentanan Sosial (KKS). Pengkajian tersebut dijalankan dengan kolaborasi bersama Bank Dunia.

Proyek PPRA itu sendiri bertujuan untuk memberi kejelasan penggunaan lahan dan hak atas tanah pada tingkat desa di 10 provinsi di Indonesia. Target utama proyek tersebut ialah mendaftarkan 7 juta bidang tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap-Partisipasi Masyarakat (PTSL-PM)

“Kita ingin memastikan bahwa setidaknya seluruh masyarakat ikut mendapatkan manfaat dari proyek PPRA ini. Bahkan, kajian ini untuk melihat risiko-risiko adakah masyarakat yang mungkin tidak sepenuhnya menerima manfaat, makanya dilakukan Kajian Kerentanan Sosial,” ungkap Direktur Jenderal (Dirjen) SPPR, Virgo Jaya Eresta dalam Lokakarya Diseminasi Kajian Kerentanan Sosial dalam Program Percepatan Reforma Agraria, yang diadakan di JW Marriott, Jakarta, pada Selasa (13/06/2023).

Dirjen SPPR mengatakan, ada lima fokus yang menjadi pembahasan dari temuan KKS sejak dilaksanakan di sembilan provinsi tahun 2020 dengan bantuan universitas setempat.

Hal tersebut antara lain terkait keterlibatan masyarakat dalam pengumpulan data pertanahan yang masih sering menimbulkan isu; perempuan (keberpihakan gender); masyarakat adat; masyarakat yang tinggal di daerah guntai (absente); serta kawasan terlarang/dilindungi yang rentan sosial mengalami banyak tantangan dalam mengamankan hak atas tanah mereka, terutama dalam proses penguasaan dan pendaftaran tanah.

“Yang pertama ialah pengumpul data, karena saat ini semua partisipasinya dari masyarakat, jadi dilihat bagaimana keterwakilan itu sendiri dari masyarakat. Yang kedua, di sisi gender bagaimana kita terus mendorong pemegang hak itu. Walaupun data kita sudah bagus, data kepemilikan sertipikat wanita sudah 41%, ini sebenarnya tidak terlalu jauh, menurut World Bank ini juga cukup baik daripada negara-negara lain, tapi tetap kita dorong supaya semakin setara,” terang Dirjen SPPR.

Terkait pemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar kecamatan tempat tinggal pemilik tanah (tanah guntai), Dirjen SPPR menjelaskan, hal tersebut perlu dikaji untuk hak miliknya karena ditakutkan menjadi spekulan pihak luar.

“Perihal tanah guntai, jangan sampai dimanfaatkan pihak luar, sehingga tanah semakin tidak terjangkau buat penduduk setempat. Keempat, masyarakat adat juga kita kaji untuk bisa memperoleh haknya.

Terakhir, bagaimana masyarakat yang berada di wilayah seperti perbatasan hutan kita bantu mereka untuk mengetahui wilayahnya dengan kita coba memisahkan hak kepemilikan dengan hak pemanfaatan,” lanjutnya.

Kesempatan yang sama, Land Tenure Specialist dari Bank Dunia, Willem Egbert van der Muur yang juga sebagai Team Leader PPRA menyatakan kebanggaannya atas kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN.

Ia menuturkan, kajian ini dilakukan untuk memastikan bahwa kelompok masyarakat terkait benar berperan sebagai penerima manfaat.

“Bank Dunia sangat senang melihat seluruh hasil KKS yang digabungkan, ini memberikan dasar yang sangat penting untuk diskusi termasuk dengan stakeholder eksternal, terutama tentang implikasi kebijakan dan bagaimana masalah ini dapat dihadapi. Dari hasil seluruh studi KKS, sudah terbukti Kementerian ATR/BPN sangat serius dengan isu kerentanan sosial ini,” ujar Willem Van Der Muur. (Arsy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *