DJABARPOS.COM, Bandung – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan pada November 2024 mendatang ini menandai akan adanya pergantian jabatan untuk posisi kepala daerah. Di masa pergantian ini tentu saja tidak boleh terjadi kekosongan di kursi jabatan tersebut.
Oleh sebab itu, akan ada beberapa orang yang menjadi pengganti sementara yang terdiri dari Plt, Pjs, Pj, dan Plh Kepada Daerah. Walau secara garis besar keempat jabatan tersebut bertugas menggantikan kepala daerah untuk sementara, tetapi tugas yang mereka tangani tetap berbeda-beda.
Lalu, apa sih perbedaan dari istilah-istilah tersebut? Berikut ini penjelasan tentang perbedaan istilah Plt, Pjs, Pj,dan Plh kepala daerah beserta tugasnya.
Perbedaan Plt, Pjs, Pj, dan Plh Kepala Daerah
- Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah
Dikutip dari buku Administrasi Hukum Negara, istilah Plt ini merujuk pada pelaksana tugas yang diperlukan ketika terjadi kekosongan sementara karena kepala daerah sedang berhalangan sementara atau terjerat kasus. Biasanya posisi pelaksana tugas ini akan diisi oleh wakil kepala daerah. Apabila wakil kepala daerah juga sedang berhalangan sementara atau berada dalam masa tahanan, yang menjadi Plt adalah sekretaris daerah.
Jabatan Plt ini telah diatur dalam pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 14 angka 2 Huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
- Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Daerah
Masih dikutip dari sumber yang sama, pejabat sementara atau yang disingkat dengan Pjs ini adalah posisi yang ditunjuk oleh menteri untuk menjalankan tugas gubernur dan wakil gubernur sebagai kepala dan wakil daerah serta menjalankan tugas wali kota dan wakilnya. Pjs menjadi pengganti sementara karena para pejabat-pejabat tersebut sedang melaksanakan cuti di luar tanggungan negara dalam rangka melakukan kampanye.
Dasar hukum yang mengatur posisi Pjs ini ada di pasal 1 angka 6 Peraturan Mendagri Nomor 74/2016 Juncto Permendagri 1 Tahun 2018.
- Penjabat (Pj) Kepala Daerah
Mungkin ada yang menebak Pj kepala daerah ini kepanjangan dari penanggung jawab kepala daerah, namun Pj di sini merujuk pada penjabat kepala daerah. Dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2013 dijelaskan penjabat kepala daerah ditetapkan oleh presiden untuk gubernur dan pejabat yang ditetapkan oleh mendagri untuk bupati dan wali kota untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu.
Dikutip dari buku Pengantar Hukum Pilkada, penjabat kepala daerah ini merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki posisi kepala daerah hingga kepala daerah definitif terpilih dan akan mulai menjalankan tugasnya. Dan biasanya pj kepala daerah ini diisi saat penyelenggaraan pilkada tertunda karena untuk mewujudkan pilkada serentak.
Dasar hukum yang mengatur posisi penjabat negara ini adalah Pasal 201 ayat 9 Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan PMK 67/PUU-XIX/2021.
- Pelaksana Harian (Plh) Kepala Daerah
Pelaksana harian atau yang dikenal dengan istilah Plh ini adalah posisi yang hampir sama dengan Plt. Bedanya, Plh ini hanya mengerjakan tugas sehari-hari kepala daerah sesuai dengan instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Posisi Plh biasanya akan diisi oleh sekretaris daerah karena kepala daerah sedang berhalangan untuk sementara atau sedang berada dalam masa tahanan.
Dasar hukum dari Plh ini ada dalam Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan serta Pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Sebagai informasi tambahan, meskipun menjadi pengganti sementara untuk menjalankan tugas kepala daerah, Plt dan Plh ini tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian serta aspek kepegawaian yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Hal tersebut merujuk pada Surat Kepala BKN Nomor K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian.
Tugas Plt, Pjs, Pj, dan Plh Kepala Daerah
A. Tugas Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah
Merujuk Pasal 7 ayat (1) Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, pelaksana tugas kepala daerah memiliki 5 tugas dan wewenang, yaitu:
Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;Memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang definitif serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil;Menandatangani Perda tentang APBD dan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri; danMelakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
B. Tugas Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Daerah
Menurut ketentuan Pasal 9 Ayat (1) Permendagri 1 Tahun 2018, pejabat sementara kepala daerah memiliki 5 tugas yaitu:
Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;Memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota yang definitif serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil;Melakukan pembahasan rancangan peraturan daerah dan dapat menandatangani peraturan daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri;Melakukan pengisian pejabat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
C. Tugas Penjabat (Pj) Kepala Daerah
Dikutip dari buku Legal Issues Pada Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Reformasi, berdasarkan Permendagri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota, ada 4 tugas yang dilakukan oleh Pj kepala daerah yaitu:
Melakukan mutasi ASN.Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya.Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya.Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
D. Tugas Pelaksana Harian (Plh) Kepala Daerah
Merujuk Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.20-3/99 Tahun 2016 tentang Wewenang Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian, ada 6 tugas yang harus dijalankan oleh plh kepala daerah
Menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja.Menetapkan kenaikan gaji berkala;Menetapkan cuti selain Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN).Menetapkan surat penugasan pegawai.Menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi.Memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
Namun demikian, penunjukan Pjs, Plt, Pj, Plh gubernur, walikota dan bupati ini jangan sampai menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang sering terjadi dalam praktik pemerintah daerah. Misalnya, tanpa sebab yang jelas, Pj gubernur mengganti dan memutasi pejabat ASN.
Dengan terbitannya Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 821/5292/SJ pada 14 September 2022 dimana pelaksana tugas (Plt), penjabat (Pj), maupun penjabat sementara (Pjs) kepala daerah diperbolehkan untuk melakukan mutasi pegawai tanpa izin dari Kemendagri.
Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma menilai Surat Edaran (SE), tersebut secara struktural telah menerobos regulasi lainnya.
“Kita harus paham dulu kedudukan Plt, Pj, dan Pjs. Sifatnya sementara, jadi akan sangat berbahaya bila keputusan yang dibuat oleh pejabat yang sementara itu memiliki dampak yang kuat bagi kebijakan strategis yang sudah dibuat oleh pejabat sebelumnya,” kata Filep.
Filep menerangkan, yang dimaksud regulasi di atasnya yakni Pasal 132A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pasal ini, lanjut Filep, menjelaskan 4 hal yang tidak boleh dilakukan Pj, yakni melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.
“Selain itu, perlu kita ketahui juga adanya surat kepala BKN yang menjelaskan perihal batasan kewenangan penjabat kepala daerah terkait mutasi pegawai. Tentu ini harus menjadi perhatian bersama,” kata Filep.
Adapun regulasi itu yakni Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara bernomor K.26-304/.10 Tahun 2015, menegaskan bahwa penjabat kepala daerah tidak memiliki kewenangan mengambil atau menetapkan keputusan yang memiliki akibat hukum pada aspek kepegawaian untuk melakukan mutasi pegawai yang berupa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam/dari jabatan ASN, menetapkan keputusan hukuman disiplin yang berupa pembebasan dari jabatan atau pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil, kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Senator Papua Barat ini lantas menambahkan bahwa izin tertulis dari Mendagri tersebut harus terpenuhi agar keputusan yang diambil tidak berdampak negatif bagi kondisi kepegawaian di daerah.
“Keputusan tertulis dari Mendagri menjadi acuan utama supaya jangan sampai ada abuse of power dari Pj/Pjs dalam mengganti personel pegawai di daerah. Ini kan berbahaya sekali. Bisa saja hanya karena tidak suka, seorang pejabat di daerah bisa dimutasi oleh Pjs tanpa persetujuan tertulis dari Kemendagri. Lagipula sebenarnya kebijakan strategis mutasi ini kan dilarang dilakukan oleh pejabat yang cuma diberi mandat seperti Pjs ini,” ujarnya.
Senator Filep menilai SE itu bertentangan dengan Pasal 14 ayat 7 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terkait pemberhentian pegawai dan pengangkatan atau pemindahan. Pasal itu menyebutkan, “Badan atau dan atau pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui mandat, tidak berwenang mengambil keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran”.
Lebih lanjut, Ketua STIH Manokwari itu menjelaskan pula bahwa sudah seharusnya ada aturan baku terkait kewenangan Pjs tersebut, yang levelnya bukan sekedar SE.
“Bagaimana mungkin SE bisa melabrak PP di atasnya? Selain itu, SE ini juga bertentangan dengan Pasal 16 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa Pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, berwenang untuk menetapkan norma standar prosedur kriteria dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Oleh sebab itu, bagi saya, Mendagri sangat inkonsisten dan cenderung sembrono dalam mengeluarkan SE. Bisa dibayangkan satu SE bisa menghalalkan tindakan yang dilarang UU dan PP,” kata Filep.
“Terus terang, saya sangat menyayangkan hal ini. Dikhawatirkan hal ini akan juga akan mengakibatkan konflik horizontal dan vertikal di daerah. Saya berharap Mendagri bisa melihat kembali SE ini agar bisa mereduksi potensi dampak negatif yang ditimbulkan,” katanya.
Terkait hal ini, Filep pun menyampaikan apabila PNS merasa dirugikan akibat dari kebijakan Penjabat Gubernur, bupati atau walikota, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata usaha Negara (PTUN). Filep menekankan, pandangan ini disampaikannya juga sebagaimana tugas pengawasan seorang anggota DPD RI terhadap undang-undang khususnya terkait dengan kepegawaian.(Arsy)