DJABARPOS.COM, Alor – “Tanam Apa Yang Kita Makan, Makan Apa Yang Kita Tanam” menjadi semangat masyarakat Alor untuk melestarikan pangan lokal dalam upaya pemajuan kebudayaan. Hal ini menjadi gerakan budaya yang menjadi hasil program Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) yang dilakukan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, mengungkapkan bahwa akar dari kebudayaan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya yang dimiliki di sekitar mereka. “Jika kita ingin mempertahankan identitas budaya dan mencapai kedaulatan pangan, kebijakan kita harus berakar pada kearifan lokal. Kebiasaan konsumsi merupakan salah satu yang mempengaruhi budaya, karena itu pangan lokal menjadi bagian penting yang harus dilestarikan,” ungkap Hilmar dalam diskusi budaya yang diselenggarakan di Kampung Adat Matalafang, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Jumat (13/9).
Salah satu poin penting yang dibahas dalam diskusi budaya ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2024 tentang percepatan penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal. Pejabat (Pj.) Gubernur Nusa Tenggara Timur, Andriko Noto Susanto, menjelaskan bahwa regulasi ini menjadi landasan penting bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. “Kami akan memperkuat regulasi di tingkat daerah agar sejalan dengan kebijakan nasional. Penguatan kelembagaan, pemanfaatan pekarangan, hingga distribusi hasil pangan lokal menjadi fokus utama kami,” jelas Andriko.
Melalui program Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL), berhasil mendata sekitar 582 objek pemajuan kebudayaan (OPK) di Kabupaten Alor, Provinsi NTT. Data tersebut mencakup berbagai aspek kebudayaan, di antaranya manuskrip tentang sejarah, tradisi lisan, pengetahuan tradisional, pangan lokal, permainan tradisional, teknologi tradisional, bahasa, dan pengetahuan tradisional yang diantaranya berkaitan dengan sistem pangan lokal.
Festival Melang Bila
Festival Melang Bila menjadi ruang bagi masyarakat Alor untuk memamerkan berbagai hasil karya, terutama olahan pangan lokal yang kaya akan gizi dan cita rasa. Festival ini merupakan bagian dari program Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) yang bertujuan menjaga nilai-nilai tradisi dalam pengelolaan sumber daya alam dan pangan yang berkelanjutan. Festival ini sukses dilaksanakan dari tanggal 13 s.d 15 September 2024, yang diikuti perwakilan desa di Kabupaten Alor dengan menyajikan beragam olahan pangan lokal yang berasal dari pisang, ubi, jagung, dan ketela serta beragam hasil laut.
Refki Putri yang merupakan salah seorang remaja Alor berharap kegiatan semacam ini dapat berlanjut. “Dengan adanya kegiatan semacam ini, anak-anak muda tetap mengetaui pangan-pangan lokal yang lebih sehat dan tanpa pengawet,” ujar Putri sambil menyicipi makanan jagung titi yang merupakan kuliner lokal Alor.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Sjamsul Hadi, berpesan kepada pandu budaya yang merupakan pemuda penggerak kebudayaan dari program SLKL untuk dapat terus mengkampanyekan pangan lokal. “Festival Melang Bila ini terlaksana salah satunya karena inisiasi yang dilakukan oleh para pandu budaya Alor yang berhasil menghimpun dan mengajak stakeholder tidak hanya di pulau Alor tetapi pulau-pulau kecil di Kabupaten Alor untuk mewujudkannya. Ini adalah salah satu bentuk komitmen nyata dalam mempromosikan budaya khususnya pangan lokal,” ungkap Sjamsul.
Pelaksanaan Sekolah Lapang Kearifan Lokal pada tahun 2024, tersebar di tiga Kabupaten dan 14 Pulau Kecil di Kabupaten Alor, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. (***)