CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v62), quality = 80?

DJABARPOS.COM, Bandung – Penunjukan Mardigu Wowiek Prasantyo alias Bossman Mardigu sebagai Komisaris Utama Independen PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) mulai memicu kegelisahan publik. Bukan soal kapasitas, namun menyangkut integritas—kata kunci yang tak bisa ditawar dalam dunia perbankan.

Dalam siaran resmi RUPS Tahunan Bank BJB yang digelar Rabu, 16 April 2025, nama Mardigu diumumkan sebagai Komisaris Utama Independen. Meski keputusan itu masih menunggu hasil penilaian “fit and proper test” dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), riwayat personalnya telah lebih dulu menggema dan membuka ruang kontroversi.

Masalahnya bukan sembarangan. Mengacu pada pemberitaan yang viral sejak Januari 2024, Mardigu terseret isu moral serius. Ia diduga menjalin hubungan dengan istri orang dan bahkan disebut mengkriminalisasi suami sah perempuan tersebut lewat laporan UU ITE.

Kasus ini pertama kali mencuat dari laporan akun media sosial @PartaiSocmed pada Rabu, 31 Januari 2024, lengkap dengan tangkapan layar percakapan WhatsApp, foto penggerebekan, hingga surat terbuka dari suami perempuan tersebut, Hanif Wicaksono, yang saat itu tengah mendekam di penjara akibat laporan Mardigu.

Surat bertajuk “Mardigu Penghancur Keluarga dan Perobek Kebahagiaan Anak-anak Saya” menjadi saksi dari pusaran persoalan pribadi yang mengarah pada pertanyaan publik: layakkah sosok seperti ini dipercaya memegang jabatan strategis di institusi keuangan milik daerah?

Dampak Reputasi dan Integritas

Fit and proper test oleh OJK tak hanya menilai kompetensi teknis, tetapi juga mengacu pada Peraturan OJK (POJK) No. 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. Dalam pasal 6 POJK tersebut ditegaskan bahwa aspek integritas, rekam jejak hukum, hingga risiko reputasi menjadi dasar pertimbangan utama.

“Jika benar kasus moral ini terbukti dan memiliki implikasi hukum atau publik yang kuat, maka penunjukan Komisaris Utama BJB bisa jadi blunder reputasi,” kata Ilmi Hatta, pengamat tata kelola publik dari Universitas Islam Bandung. “Bank milik daerah seperti BJB harus menjadi simbol akuntabilitas, bukan tempat pembiaran citra penuh kontroversi.”

Menurut Ilmi, risiko reputasi adalah ancaman serius bagi industri perbankan yang mengandalkan kepercayaan. Bahkan jika kasus tersebut tidak berdampak hukum, persepsi publik tetap dapat melemahkan kredibilitas bank.

Hal senada disampaikan, praktisi perbankan Irene. Ia menegaskan bahwa jabatan Komisaris Utama bukan hanya soal strategi bisnis, tetapi simbol keteladanan dalam tata kelola.

“Kami minta OJK bersikap sangat selektif dan objektif. Jangan sampai publik melihat penunjukan ini sebagai kompromi terhadap nilai-nilai integritas,” ujarnya.

Ruang Gelap di Tengah Sorotan

BJB saat ini sedang berupaya membangun ulang reputasinya, pasca kasus korupsi yang menyeret Direktur Utama sebelumnya, Yuddy Renaldi. Di saat upaya perbaikan tengah digulirkan, penunjukan tokoh dengan kontroversi moral bisa mengerdilkan semangat reformasi dari dalam.

Regulasi lain seperti Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 12/23/PBI/2010 juga mewajibkan Komisaris Utama bank memenuhi prinsip kehati-hatian, memiliki integritas yang baik, dan tidak tercela dalam rekam jejaknya.

Mardigu, yang dikenal sebagai praktisi hipnoterapi, pengusaha logam mulia, hingga pendiri proyek Cyronium, memang piawai membangun narasi publik lewat media sosial dan kanal YouTube-nya yang memiliki hampir 2 juta pengikut. Namun, narasi publik bukan ukuran absolut untuk menilai kelayakan moral dalam jabatan publik.

Kini, publik menunggu sejauh mana OJK berani menempatkan asas kehati-hatian di atas segala kepentingan lain. Karena di dunia perbankan, kepercayaan adalah modal utama. Dan integritas adalah tembok pelindungnya. Jika tembok ini keropos sejak awal, maka reputasi BJB bisa terjerembab ke jurang yang lebih dalam. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *