DJABARPOS.COM, Bandung – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan setelah mengganti nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan menjadi RSUD Welas Asih. Keputusan ini memicu reaksi keras dari publik, terutama dari seorang warganet bernama Eko Widodo yang mengkritik langkah tersebut secara terbuka di media sosial.
Melalui akun TikTok @ekowi_, Eko menilai bahwa perubahan nama itu bukan sekadar pergantian istilah, melainkan upaya sistematis menghapus sejarah rumah sakit yang sejak awal berdiri memiliki identitas kuat sebagai lembaga pelayanan kesehatan berbasis keislaman. Ia menyebut bahwa RSUD Al Ihsan dibangun dengan dana umat melalui Baznas dan memiliki akar kuat dalam nilai zakat dan wakaf masyarakat Jawa Barat.
Eko mempertanyakan alasan Gubernur mengganti nama rumah sakit dengan nama bernuansa budaya Sunda, namun menghilangkan elemen keislaman yang melekat sejak awal. Ia menilai keputusan itu menunjukkan ketidakseimbangan dalam melihat sejarah dan kearifan lokal.
Namun alih-alih menjawab substansi kritik, Dedi Mulyadi justru merespons dengan mengungkit masa lalu Eko Widodo. Ia menyebut bahwa dirinya mengetahui Eko pernah terjerat kasus hukum, sebuah pernyataan yang tidak berkaitan langsung dengan pokok kritik yang disampaikan.
Langkah Dedi yang membalas kritik dengan serangan personal ini langsung menuai kecaman. Banyak pihak menilai respons tersebut mencerminkan sikap antikritik dan ketidakmatangan dalam memimpin. Seorang kepala daerah semestinya terbuka terhadap pandangan publik, bukan justru menggiring opini untuk mendiskreditkan suara warga.
Eko Widodo sendiri menyatakan bahwa kritiknya bukan ditujukan untuk menjatuhkan secara pribadi, melainkan bentuk kepedulian terhadap pelestarian sejarah dan nilai yang sudah dibangun bertahun-tahun. Ia menegaskan bahwa publik berhak tahu alasan di balik keputusan strategis yang menyentuh simbol-simbol keagamaan dan sosial masyarakat.
Diketahui, RSUD Al Ihsan telah berganti status menjadi rumah sakit umum daerah sejak tahun 2008. Namun akar sejarahnya tetap melekat sebagai lembaga yang lahir dari inisiatif umat dan dikelola melalui dana keagamaan.
Polemik ini kini berkembang menjadi diskusi yang lebih luas tentang arah kepemimpinan Dedi Mulyadi. Apakah perubahan nama ini murni bagian dari agenda budaya, atau justru mencerminkan sikap sepihak yang tidak memberi ruang pada sejarah dan kritik publik?
Dengan menjadikan masa lalu pengkritik sebagai tameng, Dedi Mulyadi dinilai gagal menunjukkan sikap kenegarawanan. Kritik bukan untuk dijadikan musuh, tapi cermin untuk memperbaiki arah kebijakan. Namun yang muncul justru sebaliknya: kritik dibalas serangan personal. (Arsy)