Kritik Publik Bukan untuk Dihindari, Tapi Diterima

Oleh : Fajar Budhi Wibowo
Koordinator Umum KOMPAS (Koordinat Masyarakat Pejuang Aspirasi)

Pernyataan salah satu anggota DPRD Kota Cimahi yang menanggapi kritik soal rencana renovasi gedung DPRD dengan kalimat, “Akang mewakili masyarakat yang mana ?” sontak menuai sorotan.

Bagi sebagian orang, ini hanya respons spontan. Namun, bagi publik yang menyuarakan aspirasi, pernyataan ini justru membuka pertanyaan besar: sejauh mana wakil rakyat memahami siapa yang mereka wakili?

Prioritas yang Dipertanyakan

Polemik ini muncul di tengah rencana pembangunan gedung DPRD Cimahi yang diperkirakan menelan biaya hingga Rp50 miliar. Detail Engineering Design (DED)-nya sendiri telah menghabiskan lebih dari Rp1,5 miliar dari APBD.

Masalahnya, proyek ini muncul saat APBD Cimahi mengalami defisit sebesar Rp120,37 miliar. Di sisi lain, alokasi belanja modal untuk infrastruktur dasar hanya sekitar Rp23,22 miliar  jauh lebih kecil dari anggaran renovasi gedung wakil rakyat.

Pertanyaannya, mengapa gedung lebih diprioritaskan dibanding kebutuhan warga seperti perbaikan sekolah, pengendalian banjir, atau fasilitas layanan publik lainnya?

Uang Bantuan, Tapi Tetap Uang Publik

Sebagian anggota DPRD berdalih bahwa anggaran pembangunan berasal dari Bantuan Keuangan (Bankeu) Provinsi Jawa Barat, bukan dari kas daerah. Namun publik paham: Bankeu tetap berasal dari APBN, dan itu tetap uang rakyat.

Artinya, setiap rupiah tetap harus dipertanggungjawabkan. Usulan penggunaan Bankeu pun tidak turun dari langit, tapi diajukan pemerintah daerah dan DPRD sendiri. Ketika memilih merenovasi gedung, itu adalah pilihan politik yang sah untuk dikritisi.

Julukan “Villa Rebo” dan Fakta Kegiatan

Publik Cimahi menyindir Gedung DPRD dengan istilah “Villa Rebo”, karena mayoritas kegiatan dewan disebut berlangsung setiap hari Rabu.

Beberapa data yang beredar memang menunjukkan aktivitas penting dewan sering jatuh di hari itu, seperti:

  1. Sidang paripurna evaluasi LKPJ (14 Mei 2025 – Rabu)
  2. Pandangan fraksi RPJMD (2 Juli 2025 – Rabu)
  3. Persetujuan KUA-PPAS (6 Agustus 2025 – Rabu)

Alih-alih merasa tersinggung, mestinya sindiran itu menjadi refleksi. Jadikan transparansi dan pemerataan jadwal kegiatan sebagai cara untuk membantah stigma tersebut secara elegan.

Kritik Bukan Serangan

Pernyataan “Akang mewakili masyarakat yang mana?” mencerminkan alergi terhadap kritik. Padahal, DPRD adalah representasi seluruh warga kota, bukan hanya konstituen satu daerah pemilihan.

Setiap warga Cimahi berhak mempertanyakan penggunaan dana publik termasuk melalui kritik terbuka. Respons antikritik justru mencederai semangat demokrasi yang sehat.

Menariknya, Ketua DPRD dan beberapa anggota lain justru menanggapi kritik dengan bijak. Mereka memilih berdialog, bukan membalas dengan pernyataan emosional.

Pertanyaan yang Lebih Penting

Daripada mempertanyakan siapa yang menyampaikan kritik, lebih baik para wakil rakyat menjawab tiga pertanyaan berikut:

1. Apakah renovasi gedung dewan benar-benar mendesak?

2. Apakah manfaatnya sepadan dengan biaya besar?

3. Apakah keputusan ini sudah melalui proses partisipasi publik?

Akhirnya, Demokrasi Butuh Suara

Spanduk bertuliskan kritik yang dipasang warga di sekitar gedung DPRD bukan tindakan sepihak. Itu bagian dari ekspresi publik terhadap sikap antikritik dari segelintir anggota dewan.

Demokrasi tumbuh melalui suara-suara publik, bahkan yang paling tajam sekalipun. Membatasi kritik sama dengan membatasi nafas demokrasi itu sendiri.

Karena dalam sejarah, hanya ada dua tipe wakil rakyat : Mereka  yang membangun tembok untuk menolak suara rakyat, dan mereka yang membuka jendela untuk mendengarkan.

Dan masyarakat Cimahi, pasti tahu siapa yang benar-benar mewakili mereka.


By Arsy 80

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *