Iklan Djabar Pos

Indonesia Alami 185 Bencana di Awal 2021, Jadi Peringatan Soal Kerusakan Alam

Ratna Dewi Sartika, akrab dipanggil Tika, lahir dan besar di Banjarmasin dan kini tinggal di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

“Sepanjang hidup saya, ini merupakan banjir paling parah yang pernah terjadi,” ujarnya kepada Farid M. Ibrahim dari ABC Indonesia.

Iklan Djabar Pos

Ia mengatakan di beberapa tempat ketinggian air sempat mencapai tiga meter dan membuat banyak warga terendam dan terperangkap di rumahnya.

Ketika banjir mulai menggenangi kota Banjarbaru pada 12 Januari lalu, Tika ikut turun menangani ratusan pengungsi.

Lebih dari 200 orang korban banjir sekarang ditampung di UPT Balai Besar Pendidikan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Kementerian Sosial RI Banjarmasin yang berlokasi di Banjarbaru.

Tika menjelaskan, semua pengungsi ditempatkan di tempat tersebut yang memiliki “fasilitas lengkap”, termasuk pengatur suhu udara di setiap kamar.

“Mereka juga menjalani tes COVID-19 yang hasilnya masih kami tunggu sampai saat ini,” katanya.

‘Peringatan’ bagi Pemerintah Indonesia soal kebijakan lingkungan

Aida mengakui cuaca dan iklim memang menjadi penyebab bencana, tapi menurutnya bencana banjir dan tanah longsor “disebabkan oleh perbuatan kita sendiri”.

“Jika kita tidak menghentikan penebangan hutan, tentunya perubahan iklim akan semakin buruk … cuaca menjadi tidak dapat diprediksi. Dan tentunya banjir semakin sering muncul,” ujarnya.

Ia menegaskan serangkaian bencana, terutama banjir dan tanah longsor, harus menjadi “peringatan”, khususnya bagi Pemerintah Indonesia.

“Mereka harus melihat tahun ini sebagai peringatan untuk meninjau kembali kebijakan mereka, berhenti mengeluarkan izin penebangan dan konversi [dan] membiarkan orang melakukan penebangan,” katanya.

“Semua area penambangan yang sudah tidak digunakan perlu ditanam kembali.”

Pada tahun 2014, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berjanji untuk mengembalikan 11,7 juta hektare hutan kepada masyarakat pedesaan dalam lima tahun, salah satu tujuannya adalah mengurangi emisi karbon dengan menahan jumlah penebangan pohon.

Tapi proyek tersebut tertunda, dengan target tahun lalu untuk mengembalikan 500.000 hektare terpaksa dikurangi setengahnya.

Pemerintah mengatakan pandemi COVID-19 menjadi alasannya.

‘Rebutan saat mobil bantuan berhenti’

Ridwan Alimuddin sedang tur bersepeda ke Tapango, Kabupaten Polewali dan tidak merasakan apa-apa ketika gempa bumi terjadi di Sulawesi Barat beberapa waktu lalu.

“Pas saya lihat orang berlarian, saya pun berhenti dan mencari tempat yang jauh dari bangunan,” ujar Ridwan.

“Sesaat kemudian, gempa terasa lagi. Getarannya, sebagai pembanding, saya lihat pagar besi bergoyang-goyang,” katanya yang saat itu berada di garis episentrum gempa, 40 kilometer ke arah Malunda.

“Saya langsung telepon istri saya yang bersama sepupunya sedang naik mobil ke Majene. Mereka bersama anak-anak saya yang sudah menangis semua saat itu,” tutur Ridwan kepada Farid M. Ibrahim dari ABC Indonesia, Senin lalu (18/01).

Berbekal pengalamannya menangani bantuan untuk korban bencana sebelumnya, Ridwan melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak, termasuk relawan Armada Pustaka Mandar serta Rintara Jaya Sulbar untuk mengordinasikan bantuan bagi korban gempa.

“Di Malunda kami membuat posko informasi, untuk menjembatani komunikasi dengan lokasi pengungsi yang tersebar,” katanya.

Ridwan menyebut respon pemerintah setempat tidak maksimal dan tampaknya lebih fokus di Mamuju, ibukota propinsi Sulawesi Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *