“Ini kan episentrum gempanya di Malunda. Tapi yang diberitakan Mamuju dan Majene. Kata Majene membuat orang salah paham, sebab ibukota Kabupaten Majene juga namanya Majene. Jadi orang menganggap kotanya yang kena,” kata Ridwan.
Sebagai dampak kesimpangsiuran informasi, Ridwan menyebut saat itu bantuan belum ada sampai di titik pengungsi di Malunda, Ulu Manda, dan Tubo Sendana, yang berada dekat dengan titik gempa.
“Keterlambatan pemerintah itu kelihatan efeknya, banyak pengungsi yang memasang papan penghalang di jalan untuk minta sumbangan,” ujar Ridwan kepada Farid M.Ibrahim.
“Kadang mereka kesal kalau tidak diberi bantuan. Belakangan ada yang rebutan saat ada mobil bantuan berhenti. Ini yang kemudian dinarasikan sebagai penjarahan,” tutur Ridwan.
Ridwan berharap bencana kali ini bisa menyadarkan orang mengenai pentingnya mitigasi bencana, termasuk kualitas pembangunan rumah warga dan perkantoran, karena Sulawesi Barat merupakan daerah rawan gempa.
“Kearifan lokal menggunakan rumah panggung sudah mulai ditinggalkan, padahal rumah panggung terbukti ampuh menghadapi gempa,” menurutnya.
Sementara itu Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia mengatakan Pemerintah Indonesia masih menangani bencana dengan pendekatan “respon reaktif” bukan pencegahan dari sumber penyebabnya.
“Itu tidak menjawab persoalan bagaimana manajemen bencana dilakukan pemerintah Indonesia, padahal kita ketahui Indonesia ini adalah kepulauan yang memang bencananya sering terjadi, ditambah dengan perubahan iklim, intensitas bencananya akan meningkat,” ujarnya.(Agus Ridwan)