Oleh : Turino Yulianto, Mantan Ketua Umum Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa (Kokesma) ITB

Dunia sedang tidak baik-baik saja

Perang Rusia–Ukraina yang sudah berlangsung tiga tahun belum menunjukkan tanda-tanda akhir. Di Timur Tengah, konflik Israel–Palestina terus membara di Jalur Gaza. Sementara itu, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, Donald Trump, mengambil langkah-langkah kontroversial: keluar dari WHO, menghentikan bantuan USAID, ingin mencaplok Greenland, dan terakhir menetapkan tarif timbal balik ke sejumlah negara, termasuk Indonesia yang dikenai tarif sebesar 32%.

Dampak dari kebijakan tarif ini terhadap perekonomian Indonesia berpotensi sangat signifikan. Jika tidak ditanggapi secara cepat dan tepat, bisa menimbulkan gejolak besar. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terancam terus melemah. Sektor sawit, karet, tekstil, dan alas kaki bisa terpukul hebat. Akibatnya, tekanan terhadap IHSG akan menguat, berdampak ke sektor riil, menambah penutupan pabrik, dan memicu gelombang PHK massal.

Namun ini bukan soal pesimisme, melainkan realisme. Seperti kata para entrepreneur sejati, selalu ada peluang di setiap gelombang perubahan. Akan selalu muncul pelangi setelah badai. Apakah masa depan ekonomi kita akan sesuram yang diprediksi banyak pakar?

Jika kita jeli, sesungguhnya ada secercah cahaya di ujung lorong gelap. Cahaya itu dinyalakan oleh Presiden Prabowo Subianto melalui kebijakan afirmatif untuk mengembangkan ekonomi rakyat kecil di pedesaan lewat koperasi. Benarkah begitu? Mari kita tengok mimpi Prabowo tentang koperasi, serta langkah konkret yang sudah ia ambil.

Koperasi dalam Visi Prabowo

Dalam acara Rapat Anggota Tahunan (RAT) Induk Koperasi Unit Desa (INKUD) pada November 2023 di Jakarta, Prabowo yang saat itu masih menjadi calon presiden menyampaikan komitmen kuat terhadap koperasi. Ia mengenang ayah dan kakeknya sebagai pejuang koperasi, dan menyatakan mimpi agar koperasi di Indonesia suatu hari bisa memiliki pabrik, smelter, kapal ikan, hingga perusahaan besar.

Setelah resmi terpilih sebagai Presiden RI, janji kampanye itu perlahan mulai direalisasikan. Ia memisahkan Kementerian Koperasi dari UMKM, menunjukkan bahwa koperasi tidak selalu harus berskala kecil. Bahkan, koperasi bisa tumbuh menjadi konglomerat. Sementara kementerian lain mengalami pemangkasan anggaran, Kemenkop justru mendapat tambahan alokasi kredit Rp10 triliun lewat LPDB.

Prabowo juga menghapus utang macet koperasi dan UMKM yang selama bertahun-tahun tidak tertagih, total sekitar Rp10 triliun, mencakup sekitar 67.000 debitur. Banyak yang terkejut, tetapi ia tetap melangkah. Jumlah itu kecil dibanding penghapusan utang BLBI ratusan triliun yang hanya dinikmati segelintir konglomerat. Yang penting, koperasi dan UMKM bisa lepas dari jeratan masa lalu dan siap berkembang.

Program unggulannya, Makan Bergizi Gratis (MBG), juga langsung dijalankan sejak awal 2025. Ia memerintahkan agar pasokan bahan baku, baik pertanian, peternakan, maupun perikanan sebisa mungkin berasal dari lokal dan dikelola jaringan koperasi.

Kebijakan tak terduga lainnya adalah pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di 70.000 desa di seluruh Indonesia. Sebuah langkah yang mengagetkan banyak pengamat ekonomi yang belum familier dengan konsep koperasi. Padahal koperasi adalah badan hukum usaha resmi yang dapat bekerja sama dengan badan hukum lain dan beroperasi lintas negara.

Banyak yang membandingkan koperasi dengan BUMDes, padahal keduanya berbeda. Koperasi bisa membawa desa-desa Indonesia menembus pasar global. Koperasi Peternak Sapi di Boyolali, misalnya, bisa saja memiliki saham di industri susu seperti Nestlé, Greenfields, atau Ultrajaya. Atau KUD berkolaborasi dengan koperasi beras Jepang dalam rangka ketahanan pangan.

Ketika Pasar Sinis, Rakyat Optimis

Ketika Danantara diluncurkan dan pasar bereaksi negatif hingga IHSG turun, Prabowo tetap tenang. Baginya, yang penting harga pangan aman, maka negara aman. Terbukti, IHSG kembali naik dalam beberapa hari. Bahkan pada hari yang sama Danantara diresmikan, Prabowo langsung memanggil manajemennya dan memberi arahan bahwa salah satu program utama adalah mendukung pembentukan 70.000 koperasi desa tersebut.

Prabowo tampaknya benar-benar yakin, koperasi adalah instrumen yang tepat untuk membangun kesejahteraan rakyat pedesaan. Ia tampak menghidupi pemikiran Bung Karno bahwa koperasi adalah alat untuk meningkatkan pendapatan petani, buruh, dan rakyat miskin, tulang punggung ekonomi Indonesia.

Ini Bukan Soal Masa Lalu, Ini Soal Masa Depan

Sayangnya, banyak yang masih menolak koperasi dengan alasan masa lalu yang penuh penyelewengan. Tapi bukankah penyelewengan juga terjadi di badan usaha kapitalis? Lihat saja kasus Timah, Jiwasraya, Pertamina, Kominfo, hingga kredit ekspor—yang nilai penyimpangannya jauh lebih besar dan tidak melibatkan koperasi sama sekali.

Mereka yang menolak koperasi juga mungkin seperti katak dalam tempurung, tidak melihat betapa besar koperasi di negara maju. Berdasarkan laporan International Cooperative Alliance (ICA) tahun 2023, 300 koperasi terbesar dunia mencatat omzet gabungan US$2,4 triliun (Rp30.000 triliun). Mulai dari sektor pertanian, asuransi, perdagangan, hingga keuangan.

Contohnya, Crédit Agricole dari Prancis (omzet US$117 miliar), REWE Jerman (US$82 miliar), Zen-Noh Jepang (US$55 miliar), dan Nonghyup Korea Selatan (US$41 miliar). Kelas mereka sebanding dengan konglomerat besar di Indonesia.

Koperasi Indonesia memang belum masuk daftar 300 besar, namun gerakan koperasi di era Prabowo mulai bersiap untuk itu. Jika 70.000 koperasi desa berjalan dan masing-masing beromzet Rp1 miliar per tahun, maka akan tercipta perputaran ekonomi Rp70 triliun—belum termasuk koperasi yang sudah eksis.

Jika rata-rata koperasi menyerap 100–300 tenaga kerja, maka akan ada 10–20 juta lapangan kerja baru. Kepemilikan usahanya juga tersebar, bukan dimonopoli segelintir orang. Inilah model ekonomi kerakyatan yang layak menjadi masa depan Indonesia.

Membangun Legacy Melalui Koperasi

Tokoh buruh Jumhur Hidayat pernah menyatakan bahwa koperasi adalah bentuk usaha paling cocok untuk membentengi rakyat dari kerakusan kapitalis. Ini juga amanat konstitusi. Cabang-cabang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak semestinya berbentuk koperasi: pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan, hingga energi.

Bahkan dalam dunia digital seperti ojek online, para driver seharusnya berhimpun dalam koperasi agar bisa memiliki saham di perusahaan aplikasi. Bukan hanya menjadi mitra, tetapi juga pemilik usaha.

Prabowo, yang mewarisi ideologi koperasi dari kakeknya Margono Djojohadikoesoemo dan ayahnya Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, tampaknya punya misi menghidupkan kembali gerakan koperasi sebagai pilar ekonomi nasional. Sebuah perjuangan berat, seperti mendaki gunung terjal.

Namun semangat ini sejalan dengan semangat masyarakat kota Rochdale, Inggris, yang pada 1844 mendirikan koperasi pertama di dunia. Mereka kecewa karena Revolusi Industri gagal membawa perubahan bagi rakyat kecil. Kebebasan, persamaan, dan kebersamaan hanya dinikmati pemilik kapital.

Kini, hampir 200 tahun kemudian, Prabowo berusaha membangkitkan semangat serupa di Indonesia. Cahaya di ujung lorong memang belum terang, tapi tampaknya akan terus membesar dan menerangi jalan.

Semoga ini bisa menjadi legacy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *