Oleh: Roni Maulana Arsy
DJABARPOS.COM, Bandung – Menjelang bulan suci Ramadhan, masyarakat di berbagai daerah di Indonesia menjalankan tradisi Munggahan. Lebih dari sekadar kebiasaan turun-temurun, Munggahan menjadi momen penuh makna untuk mempererat tali silaturahmi, membersihkan hati, dan mempersiapkan diri menghadapi bulan penuh berkah.
Dalam bahasa Sunda, Munggahan berasal dari kata munggah, yang berarti “naik” atau “menaiki”. Filosofinya, tradisi ini menggambarkan perjalanan umat Islam yang sedang “naik” ke tingkat spiritual yang lebih tinggi saat memasuki bulan Ramadhan. Ini adalah waktu bagi setiap individu untuk meningkatkan kualitas ibadah, introspeksi diri, dan menyucikan hati sebelum menjalani puasa.
Tradisi serupa juga ditemukan di berbagai daerah lain, dengan nama dan bentuk yang mungkin berbeda. Namun, esensi dari Munggahan tetap sama: sebuah persiapan menyambut bulan suci dengan hati yang bersih dan penuh kebersamaan.
Setiap daerah memiliki cara unik dalam merayakan Munggahan. Meski berbeda dalam pelaksanaannya, semuanya memiliki tujuan yang sama—menjalin kebersamaan dan memperkuat nilai-nilai spiritual. Berikut beberapa bentuk tradisi Munggahan di Indonesia :
1. Silaturahmi dan Makan Bersama
Munggahan hampir selalu identik dengan berkumpul bersama keluarga besar, sahabat, atau rekan kerja. Di Jawa Barat, makanan khas yang sering dihidangkan adalah nasi liwet, ikan bakar, tahu tempe, dan lalapan segar. Sementara di daerah pesisir seperti Cirebon dan Indramayu, masyarakat lebih sering menyajikan aneka olahan seafood sebagai simbol rezeki dan keberkahan.
Bagi mereka yang tinggal jauh dari keluarga, momen Munggahan tetap bisa dirayakan dengan makan bersama teman atau kolega, sebagai pengingat bahwa kebersamaan tetap bisa dirasakan di mana pun berada.
2. Ziarah ke Makam Leluhur
Banyak masyarakat memanfaatkan Munggahan untuk berziarah ke makam orang tua atau leluhur. Kegiatan ini bukan hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi juga pengingat akan kehidupan yang fana. Mereka berdoa agar keluarga yang telah tiada mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT, sekaligus mengingatkan diri sendiri untuk selalu berbuat kebaikan.
3. Saling Bermaafan
Sebelum menjalani ibadah puasa, banyak orang menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja maupun tidak. Dengan hati yang bersih dan penuh keikhlasan, diharapkan ibadah Ramadhan dapat dilaksanakan dengan lebih tenang dan khusyuk.
4. Doa Bersama dan Pengajian
Di beberapa daerah, Munggahan juga diisi dengan doa bersama, pengajian, atau tausiyah di masjid dan rumah-rumah. Ini menjadi momen refleksi untuk meningkatkan keimanan, sekaligus menguatkan tekad menjalani Ramadhan dengan lebih baik dari tahun sebelumnya.
5. Munggahan di Lingkungan Kerja
Seiring perkembangan zaman, tradisi Munggahan juga mulai masuk ke lingkungan kerja. Banyak kantor atau instansi yang mengadakan acara Munggahan berupa makan siang bersama, tausiyah, atau sekadar saling mengucapkan doa baik. Hal ini menjadi bentuk kebersamaan di tempat kerja sebelum menghadapi bulan Ramadhan yang penuh tantangan.
Di tengah kesibukan masyarakat perkotaan dan kemajuan teknologi, cara merayakan Munggahan pun ikut beradaptasi. Kini, banyak orang yang mengirimkan ucapan dan doa melalui media sosial, video call dengan keluarga, atau bahkan mengadakan pertemuan daring. Meskipun cara merayakannya berubah, makna dan tujuannya tetap sama—menyambut Ramadhan dengan kebersihan hati dan kebersamaan.
Munggahan lebih dari sekadar tradisi; ia adalah bentuk persiapan diri, baik secara spiritual maupun sosial, untuk memasuki bulan Ramadhan dengan penuh kesadaran dan kebersihan hati. Dalam kebersamaan, saling memaafkan, dan doa yang dipanjatkan, tersimpan harapan agar bulan suci ini menjadi waktu yang penuh berkah, kedamaian, dan peningkatan iman.
Dengan segala adaptasi dan perubahan zaman, Munggahan tetap bertahan sebagai tradisi yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia—sebuah warisan kearifan lokal yang terus memberikan makna bagi setiap generasi.