Oleh: Roni Maulana Arsy (Jurnalis Media Djabar Pos)

DJABARPOS.COM, Bandung – Rencana pemerintah untuk merelokasi warga dari lahan milik negara memicu polemik di lapangan. Tak hanya relokasi yang ditolak, pembangunan fasilitas umum pun ikut terganggu. Spanduk penolakan bermunculan, unjuk rasa digelar, dan suasana menjadi memanas. Namun sayangnya, tidak semua protes berasal dari warga asli yang terdampak langsung.

Banyak warga yang sebenarnya memahami maksud relokasi dan menerima dengan terbuka. Mereka sadar bahwa selama ini menempati lahan milik negara tanpa izin dan tanpa membayar sewa. Mereka juga memahami bahwa relokasi ini adalah bagian dari penataan kawasan yang lebih tertib dan layak. Pemerintah pun tidak serta-merta menggusur, melainkan memberikan solusi berupa tempat tinggal atau lokasi baru yang lebih layak huni.

Masalah muncul ketika pihak-pihak tak bertanggung jawab ikut campur. Mereka mengatasnamakan masyarakat, menyebar ketakutan, dan memprovokasi warga yang awalnya sudah tenang. Tak hanya itu, mereka juga mengganggu bahkan memeras pengusaha yang sah secara hukum menyewa lahan milik pemerintah. Padahal, para pengusaha inilah yang ikut menyumbang pemasukan daerah melalui sewa dan pajak.

Ironisnya, banyak dari pengusaha tersebut justru menyewa lahan pemerintah untuk membangun fasilitas yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti pasar, jembatan, area usaha kecil, hingga ruang terbuka. Sayangnya, upaya baik ini malah dihalang-halangi oleh oknum yang mengaku mewakili masyarakat, padahal mereka jelas-jelas merugikan kepentingan umum.

“Saya sudah ikuti prosedur, bayar sewa, bayar pajak, dan tujuan kami pun bukan untuk kepentingan pribadi semata, tapi pembangunan bersama. Tapi tetap saja dihadang dan diintimidasi,” keluh salah satu pengusaha yang menjadi korban gangguan.

Akibatnya, pembangunan terhenti, fasilitas publik tak jadi dibangun, dan masyarakat kehilangan kesempatan untuk menikmati infrastruktur yang lebih baik, seperti pasar yang lebih representatif dan jembatan yang akan menghubungkan dua wilayah yang sebelumnya terpisah.

Relokasi Bukan Penggusuran

Sayangnya, istilah “relokasi” kerap disalahpahami sebagai bentuk penggusuran paksa. Padahal relokasi adalah upaya memindahkan warga ke tempat yang lebih aman, legal, dan tertata. Ini adalah bentuk tanggung jawab negara dalam menata wilayah tanpa mengabaikan nasib masyarakat.

Jika relokasi tidak dilakukan, lahan negara akan terus ditempati secara ilegal, pembangunan terhambat, dan daerah kehilangan potensi pendapatan yang bisa digunakan untuk pelayanan publik.

Pemerintah Harus Bertindak Tegas

Dalam situasi seperti ini, pemerintah tidak boleh ragu. Penertiban harus dilakukan terhadap pihak-pihak yang merusak ketertiban dan menyebar provokasi. Lebih dari itu, pemerintah juga wajib mengawal dan melindungi pengusaha yang telah sah menyewa lahan dan memberikan kontribusi pada pendapatan daerah. Mereka tak hanya berinvestasi, tetapi juga membangun fasilitas yang pada akhirnya akan dinikmati oleh masyarakat itu sendiri, seperti pasar dan jembatan yang sangat dibutuhkan.

Jika pelaku usaha yang beritikad baik terus diintimidasi, maka bukan hanya investasi yang hengkang—tapi juga harapan masyarakat untuk memiliki lingkungan yang lebih tertata dan fasilitas publik yang layak akan ikut hilang.

Saatnya Masyarakat Bijak Menerima Perubahan

Masyarakat perlu memahami bahwa tujuan relokasi dan pembangunan adalah demi kebaikan bersama. Relokasi bukan akhir dari segalanya, justru bisa menjadi awal kehidupan yang lebih baik dan tertata. Jangan biarkan suara segelintir oknum yang menunggangi isu menutupi niat baik yang lebih besar.

Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat bisa berjalan bersama asal ada komunikasi yang terbuka, perlindungan hukum yang adil, dan kesadaran bersama bahwa pembangunan adalah untuk semua.


By Arsy 80

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *